Translate page with Google

Story Publication logo July 26, 2023

Sinaka's Economic Octopus (bahasa Indonesia)

Country:

Author:
man holds a squid
English

Residents in Sinaka village work to gain recognition for traditional fishing grounds.

author #1 image author #2 image
Multiple Authors
SECTIONS

The following is an English summary of the story "Gurita Penopang Ekonomi Sinaka." After the summary is the full story, written in bahasa Indonesia for MentawaiKita.

Octopus is a mainstay marine commodity that economically supports fishing families in Sinaka Village, Mentawai.

During the octopus harvest season, which is in March, October, and November every year, fishermen earn Rp300,000-Rp500,000 a day. Sometimes their earnings reach Rp1 million a day.

The lucrative sale of octopus has led local fishermen to engage in exploitative and non-selective fishing, resulting in catches that are reduced in both quantity and weight.

In pursuit of a large income, they catch octopus that are under 5 ounces or of small size.

The effect is that fishermen used to be able to catch up to 2-5 kilograms of octopus per head, but now it is difficult to get that much octopus per head.

Recognizing the problem, the Sinaka Village Government and the community tried to find a solution by limiting the size of octopus catches, which means that octopus under 5 ounces in weight are not allowed. In addition, they temporarily closed one of the fishing locations on Beriulou Island for three months.

The hope is that upon opening, the results obtained by fishermen will increase. After Beriulou Island, temporary closures will also be carried out to other fishing locations in Sinaka.



Iwan Sababalat, nelayan gurita dari Dusun Sinaka, Desa Sinaka memperlihatkan hasil tangkapannya. Foto oleh Adi Prima.

Sutrisno Mado Gaho (35), nelayan gurita di Dusun Sinaka Desa Sinaka Kabupaten Kepulauan Mentawai termasuk ulet dan rajin. Menyelam untuk menangkap gurita dilakoni lima hari dalam seminggu. Tak heran, di antara puluhan nelayan gurita di kampungnya, Sutrisno termasuk yang berpenghasilan terbanyak, rata-rata bisa mengantongi Rp500 ribu per hari saat musim gurita. Bahkan di Maret lalu, dia pernah membukukan pendapatan harian Rp1 juta. Gurihnya hasil penjualan gurita menjadi penopang ekonomi keluarga kecilnya dengan tiga anak.

Namun meskipun harga jual gurita saat ini lebih baik dibandingkan lima tahun lalu namun jumlah gurita sudah jauh berkurang. Sutrisno mengenang, 2018 merupakan tahun yang menyenangkan bagi nelayan di Sinaka karena saat itu hasil tangkap gurita (Octopus Spp.) melimpah dan besar.  Dalam sehari ia mampu mendapat 60 kg gurita. 

“Paling kurang hasil tangkapan nelayan saat itu 30 kg, bobot gurita juga besar yakni 1 ekor mencapai 5 kg dan paling kurang 2 kilogram,” kata Sutrisno saat ditemui di rumahnya di Dusun Sinaka, Sabtu, 17 Juni.


Sebagai organisasi jurnalisme nirlaba, kami mengandalkan dukungan Anda untuk mendanai liputan isu-isu yang kurang diberitakan di seluruh dunia. Berdonasi sesuai kemampuan Anda hari ini, jadilah Pulitzer Center Champion dan dapatkan manfaat eksklusif!


Namun harga gurita pada tahun itu Rp10 ribu per kg dan naik menjadi Rp22 ribu pada tahun 2019. Kemudian naik lagi pada tahun 2022 Rp 65 ribu hingga 2023 turun menjadi Rp45 ribu per kg untuk gurita ukuran 1 kg. Sedangkan untuk gurita ukuran di bawah 1 kg harganya saat ini Rp20 ribu per kg. Tak heran perikanan gurita menjadi mata pencarian utama nelayan meskipun harganya berfluktuasi. Dalam sehari pendapatan nelayan rata-rata Rp250 ribu sampai Rp500 ribu bahkan bisa Rp1 juta.

Sutrisno mengaku saat musimnya, bisa mengantongi Rp3,5 juta hingga Rp4 juta dalam seminggu. Namun saat tidak musim, pendapatan bisa merosot Rp100 ribu bahkan di bawahnya per hari, atau rata-rata Rp500 ribu-Rp1 juta per minggu bahkan bisa tidak membawa uang pulang ke rumah.

Sutrisno bercerita, awal nelayan menangkap gurita di desanya pada 2017 namun saat itu masih kalah populer dari lobster yang ketika itu masih gampang dicari dan harganya mahal. Nelayan gurita saat itu hanya 45 orang. Nelayan didominasi dari Dusun Korit Buah dan Dusun Sinaka, Desa Sinaka.


Muhamad Ilyas Vical, nelayan gurita di Sinaka sedang mencari gurita di sela terumbu karang Foto oleh Adi Prima.

Setelah lobster sulit didapat penangkapan gurita makin populer di tengah nelayan Sinaka pada 2018. Tingginya pendapatan mendorong warga lain ikut menjadi nelayan gurita. Kini jumlahnya di  Desa Sinaka mencapai ratusan yang tersebar sepanjang dusun-dusun pesisir di desa itu. Khusus Dusun Sinaka dan Korit Buah tercatat 70 lebih nelayan gurita. 

Muhammad Ilyas Vical Saogo (30), juga nelayan gurita di Dusun Sinaka. Pria yang baru memiliki putra ini kadang menangkap sendiri di gosong atau pulau dekat kampung, namun kadang menjadi anggota pengepul dan berangkat rombongan dengan nelayan lain ke lokasi lebih jauh.

Jika pergi sendiri, dia biasanya mulai berburu pukul 09.00 WIB. Dari rumah, dia sudah membawa bekal makan siang, sebotol minuman, alat selam berupa snorkel, kaki katak dan tombak besi sebagai alat tangkap. Semua diletakkan di atas sampan. Dia juga biasanya berpakaian tertutup dari atas hingga bawah untuk menghindari sengatan gurita. Vical biasanya mendayung sampan di Pulau Nyang-nyang yang berada di depan pemukiman.

"Ini tempat favorit gurita selama pengalaman menyelam dan menangkap gurita, tidak sulit menangkapnya dan jumlahnya banyak," katanya.

Gurita bagi Vical menjadi satu-satunya sumber mata pencarian, rata-rata sehari dapat menangkap 2-4 kg, hasilnya kemudian dijual kepada pengepul di kampungnya. Vical tak dapat mengandalkan hasil ladang untuk dijual karena jauh dari akses pasar dan harganya rendah. “Tanpa gurita sumber kehidupan akan sulit, jika hanya mengandalkan hasil dari ladang itu sangat payah sebab harga hasil ladang sangat rendah,” ujarnya.

Namun cuaca buruk pada 17 Juni 2023 menyebabkan Vical harus pulang dengan tangan kosong. “Susah mencarinya sebab air laut keruh akibat gelombang laut,” katanya. Juni hingga Agustus memang musim puncak cuaca buruk bagi nelayan Sinaka.

Jertianus Mado Gaho (46) adalah nelayan gurita sekaligus pengepul. Dia memodali sekitar 10-15 nelayan di dusunnya untuk menangkap gurita. Caranya, Jertianus menyediakan armada boat, BBM dan ransum. Semua biaya saat melaut akan dipotong setelah nelayan pulang dan mendapatkan gurita. 

Saat ditemui Mentawaikita.com, 16 Juni 2023, Jertianus baru saja pulang melaut dan hanya mendapat 4 kilogram gurita, lebih sedikit dari biasanya. Padahal bahan bakar minyak (BBM) yang dikeluarkan untuk melaut mencapai 20 liter. Jika dikonversi ke dalam bentuk uang harga gurita saat ini Rp60 ribu untuk tingkat pengepul di Sikakap maka hasil yang didapat Jertianus sebanyak Rp240 ribu, sementara BBM yang dikeluarkan mencapai Rp300 ribu sebab harga BBM untuk speed boat berkisar Rp15 ribu per liter. 

“Hasil tangkapan sedikit, penghasilan tidak menutupi modal yang dikeluarkan,” kata pria yang belum lama menjadi pengepul ini. 

Bulan ini hasil tangkap guritan nelayan Sinaka memang menurun dari bulan sebelumnya karena dipengaruhi cuaca buruk dan stok gurita yang mulai sedikit. Namun faktor yang paling berpengaruh menurutnya penangkapan yang tidak selektif. “Harusnya nelayan tidak boleh menangkap gurita yang beratnya 4 ons ke bawah untuk menjaga perkembangan gurita itu sendiri,” kata Jertianus.


Jertianus Mado Gaho memperlihatkan hasil tangkapan gurita yang berbobot lebih dari 1 kilogram. Foto oleh Gerson/MentawaiKita.com.

Sebagai pengepul lokal, Jertianus kerap mengingatkan nelayan anggotanya agar tidak menangkap gurita ukuran kecil di bawah 5 ons. Dia membandingkan hasil tangkap gurita tahun ini dibandingkan tahun lalu dimana para pengepul besar gurita yang tinggal di Desa Sikakap, Mentawai menolak membeli gurita di bawah berat 5 ons. Sehingga dirinya juga ikut mengingatkan anggotanya untuk tidak menangkap gurita kecil sebab tidak akan dibeli. 

“Saya tidak tahu kenapa pembeli gurita memutuskan membeli gurita dengan berat di bawah 5 ons itu,” ujarnya.

Sebagai pengepul, Jertianus tidak suka membeli gurita yang kecil seperti 4 ons sebab harganya rendah. “Saya lebih suka menangkap yang lebih besar atau membeli yang lebih besar dari nelayan,” ujarnya. Rata-rata waktu yang dihabiskan Jertianus melakukan penangkapan berkisar 6-8 jam, berangkat pagi dan pulang pada sore hari. Alat tangkap yang digunakan tombak besi dan pengait yang dibuat sendiri.

Jertianus biasanya berenang mengambang di permukaan sekitar gosong atau terumbu karang dibantu dengan alat pernapasan atau snorkel dan kaki katak. Saat melihat gurita, tombak diarahkan ke kepalanya dan ditusuk, lalu diambil dengan pengait yang terbuat dari besi. Cara ini menurut Jertianus sangat ramah lingkungan sebab nelayan dapat memilih target yang lebih besar sehingga perkembangan populasi gurita tidak berkurang. 

Berkurangnya hasil tangkapan menurut Jertianus erat hubungannya dengan revolusi alat tangkap yang digunakan oleh nelayan saat menangkap gurita. Jika dulu nelayan di Sinaka hanya menggunakan tombak sekarang mereka menggunakan pancing gurita tiruan.


Alat pancing gurita. Foto oleh Gerson/MentawaiKita.com.

Terkait alat pancing gurita, Sutrisno membenarkan saat ini sudah banyak nelayan menggunakan pancing gurita tiruan termasuk dirinya. Model pancing ini diperkenalkan oleh salah seorang warga Sikakap, salah satu desa di Mentawai. 

Kemudian alat pancing ini diperkenalkan kepada nelayan di Desa Sinaka bahkan dijual Rp100 ribu per unit. Satu unit alat ini terdiri dari kerang sendok yang dipotong-potong kemudian diberi kucing-kucingan laut yang diisi timah di dalamnya agar berat ditambah dengan mata pancing.

Penggunaan pancing ini lebih praktis saat menangkap gurita sebab nelayan tidak perlu menyelam, hanya perlu menggantung pancingan ini di sekitar karang kemudian ditarik menggunakan sampan kecil.  Gurita yang tertarik dengan pancing yang mirip kerang ini memakan pancing tersebut. Pancing ini juga bisa dibawa saat menyelam sambil menggoyangkannya untuk menarik perhatian gurita.

“Saat ujicoba pertama yang dilakukan oleh seorang nelayan Sinaka banyak yang terkejut sebab hasil tangkapannya mencapai 40 kg dalam sehari,” kata Sutrisno.

Hasil ini menarik minat Sutrisno dan nelayan lain juga memakai pancing gurita tiruan, kemudian mereka mulai mempelajari pembuatannya melalui Youtube sehingga berkembang hingga saat ini. Saat mencoba alat pancing baru ini, Sutrisno mengaku mendapat hasil mencapai 8 kilogram dalam sehari.

Gurihnya Panen Gurita Terkendala Cuaca Buruk dan Ketersediaan Es

Dulu, nelayan menangkap gurita hampir sepanjang tahun. Jika dirunut kembali ke beberapa tahun silam, musim tangkap gurita berlangsung 7 bulan dalam setahun, sementara lima bulan lainnya biasanya hasil turun karena badai dengan masa puncak dua bulan. Perubahan iklim yang menyebabkan cuaca susah diprediksi diduga memberi pengaruh. Tahun lalu misalnya, musim badai berlangsung cukup panjang, mulai Juni hingga awal Desember.

Januari cuaca mulai membaik, namun memasuki Mei gelombang laut mulai tinggi dan berangin hingga puncaknya Juli-Agustus. Di saat-saat itu menurut nelayan, gurita biasanya bertelur dan akan bersembunyi dalam terumbu karang. Nelayan sulit menangkapnya. Masa-masa itu sebagian nelayan gurita beralih menjadi nelayan lobster atau teripang dan kepiting bakau. Menurut perhitungan nelayan setempat panen gurita di laut akan dimulai kembali pada Oktober tahun ini. Biasanya hasil tangkap gurita akan banyak pada Februari, Maret dan Oktober.

Turunnya hasil panen gurita diakui Jertianus. Seminggu terakhir dia hanya dapat 7 kg gurita, hasil berbeda jika dibandingkan pada Februari hingga April hasil tangkapan gurita nelayan mencapai 10 kg sehari. Turunnya hasil tangkap menyebabkan Jertianus berencana akan menyetop aktivitas pembelian gurita nelayan sementara dan beralih menjadi pengepul ikan.

Sependapat dengan Jertianus, Vical menyebutkan sudah sejam menyelam mencari gurita namun tak berhasil menangkap seekor pun. Menurut dia Juni adalah bulan yang buruk bagi nelayan gurita.“Bulan ini gurita bertelur dan sepanjang tiga bulan ke depan menetaskan telurnya, setelah itu gurita akan mati,” katanya.

Selain pengaruh musim, kurangnya ketersediaan es juga menjadi kendala nelayan gurita karena mereka tidak dapat menjamin kualitas hasil tangkapan hingga ke tangan pembeli. Di Dusun Sinaka dan Korit Buah tidak ada listrik, tidak ada freezer sehingga es didatangkan dari Sikakap, pusat kecamatan induk atau malahan dari Padang. Kadang bisa dapat es balok namun tak jarang harus beli es rumahan yang kualitasnya lebih rendah. Harga es balok mencapai Rp60 ribu hingga Rp100 ribu per batang. Semahal apapun biasanya pengepul dusun terpaksa membeli es agar kualitas gurita bisa terjaga.

Idris Maulana (35), salah satu pengepul hasil laut di Sinaka mengatakan ketersediaan es menjadi masalah bagi mereka. Dirinya harus menjemput es ke Sikakap seminggu sekali dan mengeluarkan biaya yang banyak. Es bungkus rumahan ini hanya bertahan 3-4 hari kemudian mencair. Biaya BBM yang dia keluarkan hanya untuk menjemput es dengan speed boat bermesin 40 PK mencapai Rp1,5 juta. Jika dibandingkan harga pembelian es sebesar Rp400 ribu sebanyak 300 bungkus yang disimpan di dalam kotak fiber dengan biaya BBM yang dikeluarkan ini sangat rugi. 

Untuk mengawetkan gurita memakai es itu bertahan paling lama seminggu. Menurutnya jika mengandalkan itu saja maka modal tidak akan tertutupi. “Sebagai pusat perikanan setidaknya dibangun pabrik es mini, kita tahu bahwa Desa Sinaka kaya potensi ikan dan gurita sehingga butuh pengawetan hasil tangkapan sebelum dijual,” kata dia.


Gurita yang akan dikemas. Foto oleh Adi Prima.

Muhammad Ilyas Vical mengakui es menjadi kendala bagi mereka yang berprofesi sebagai nelayan. Di kampungnya yang memiliki es pengawet hanya pengepul. Mereka hanya menyediakan es untuk mengawetkan gurita bukan ikan. Sebagian warga akhirnya harus mengolah ikan menjadi kering agar awet saat dijual. “Ini yang menyebabkan kami lebih memilih menangkap gurita daripada ikan, kalaupun kami menangkap ikan itu hanya untuk konsumsi keluarga,” kata Vical.

Pabrik es yang memproduksi es balok untuk nelayan pernah dibangun di Sikakap namun pada tahun 2015 berhenti beroperasi. Kepala Pelabuhan Perikanan Wilayh III di Sikakap, Yofrianto mengatakan terhentinya produksi es balok disebabkan pasokan daya listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) di Sikakap yang terbatas. “Kendala adalah arus dari PLN tidak sanggup, Saya tidak tahu kendala mereka (PLN) katanya daya arus mesin tidak memadai,” Yofrianto yang dihubungi melalui telpon.

Untuk memproduksi es balok dibutuhkan arus listrik yang stabil selama 48 jam. Selama 48 jam dapat memproduksi 15 ton es balok. “Kami memiliki genset tapi fungsinya sementara jika hanya terjadi gangguan arus listrik utama dan tidak dapat dioperasikan berlama-lama karena daya tahan mesin dan harga BBM yang juga mahal,” ujarnya.

Perlu Pengelolaan yang Berkelanjutan

Berdasarkan data dari Pemerintah Desa Sinaka, nilai penjualan gurita tiap tahun mencapai Rp4 milyar. “Jumlah ini baru beberapa sampel dusun belum keseluruhan, jika seluruh dusun angka itu akan lebih,” kata Kepala Desa Sinaka Tarsan Samaloisa.

Distribusi penjualan gurita dari Sinaka baru sampai ke pengepul besar di Desa Sikakap yang terletak di Pulau Pagai Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Belum ada nelayan atau pengumpul lokal dari Sinaka yang menjual hingga ke luar Mentawai.

Besarnya potensi Gurita di Sinaka didukung titik penangkapan yang cukup banyak mencapai 34 lokasi.


Peta wilayah perikanan tradisional Desa Sinaka. Foto oleh Dok.YCMM.

Sejalan dengan dengan data Pemerintah Desa Sinaka, Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCM), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang melakukan kegiatan pendampingan untuk pengelolaan perikanan berkelanjutan di Desa Sinaka, dari hasil pendataannya pada April 2022- Juni 2023, total hasil tangkap gurita nelayan mencapai 23 ton lebih dengan pendapatan/omset total Rp936,5 miliar.

Menurut data itu, titik lokasi penangkapan gurita terbanyak untuk kedua dusun tersebut terletak pada 5 tempat yakni Sipacabelah, Tanopo, Malitau, Maturugougou dan Siatanusa. Untuk titik lokasi Sipacabelah sepanjang Maret 2022 hingga Maret 2023 diakses 80 nelayan dengan hasil tangkapan keseluruhan 1.711 kilogram dengan jumlah gurita sebanyak 1.789 ekor

Data itu belum termasuk hasil tangkapan dari dusun Mangka Ulu, Mangka Baga, Matotonan, Boriai, Kosai Baru, Kosai Batsagai, dan Mabolak yang juga merupakan daerah pesisir dari Desa Sinaka, Mentawai.

Yuafriza, Program Manager Tata Kelola Perikanan Berkelanjutan Yayasan Citra Mandiri Mentawai yang melakukan pendampingan terhadap nelayan di Sinaka, mengatakan hasil tangkap nelayan banyak dipengaruhi kondisi cuaca. 

Desa Sinaka merupakan desa paling selatan Mentawai yang menghadap lautan lepas sehingga musim ombak cukup panjang di daerah ini. “Saat musim ombak, nelayan tidak ke laut, belum lagi jika ada acara-acara di dusun, nelayan juga tidak melaut,” katanya.

Selama ini menurut dia, gurita telah menjadi sumber pencarian warga selain lobster, teripang dan ikan. Namun di sisi lain, perikanannya belum terkelola dengan baik sehingga masih ada over fishing yang jika dibiarkan akan mengancam sumber daya gurita yang ada. Untuk itu YCMM mendampingi Pemerintah Desa Sinaka membuat Peraturan Desa yang mengelola wilayah perikanan tradisional agar berkelanjutan dan lestari.

Salah satu yang dilakukan adalah menerapkan jeda tangkap atau penutupan sementara lokasi tangkap  pada satu atau beberapa titik lokasi. Pada Juni 2023 lalu, penutupan sementara untuk pertama kali dilakukan di Pulau Beriulou selama hampir 3 bulan. 

“Kita berharap dengan menutup sementara perkembangan gurita tidak terganggu sehingga saat dibuka nanti nelayan mendapat hasil yang lebih maksimal baik dari sisi jumlah maupun bobot gurita yang ditangkap,” kata Yuafriza.

Sejarah Penangkapan Gurita

Penangkapan gurita di Desa Sinaka dimulai dari tahun 2000-an. Pada saat itu harga gurita masih Rp5.000 per kilogram dan belum ada perbedaan kelas atau grade. Harga gurita ukuran kecil ataupun besar semuanya sama. Karena harganya yang masih murah, gurita belum menjadi hasil tangkap utama di Sinaka.

Sejak 2017, mulai ada pembeli atau pengepul yang mengumpulkan gurita di Sinaka, harga gurita hasil tangkapan nelayan mulai naik dan dihitung berdasarkan grade A dan B. Sejak itu, masyarakat yang kebanyakan menjadi petani beralih profesi sebagai nelayan gurita.

Saat itu hasil tangkap nelayan gurita masih banyak, rata-rata satu orang nelayan bisa mendapatkan hasil 30 kg per hari. Berat gurita yang berhasil ditangkap juga umumnya di atas 2 kilogram. 

Keahlian menangkap gurita  umumnya dipelajari sendiri oleh nelayan setempat, sebagian lagi diajarkan oleh nelayan luar yang datang dengan kapal bagan. Dulu saat pertama kali menangkap gurita, nelayan menggunakan bambu sebagai alat tangkap atau tombak. Namun bambu tidak tahan lama dan bisa patah. Nelayan lalu mengganti bambu dengan  besi. Alat tangkap ini terdiri dari sepasang besi, satu sebagai pengait, dan satunya lagi berfungsi untuk menusuk gurita atau sarangnya. 

Saat ini, hasil tangkap gurita nelayan jauh menurun dibandingkan 5 tahun lalu. Saat ini berat rata-rata gurita yang ditangkap mulai 1 ons hingga 3 kg, dengan rata-rata hasil tangkapan sehari 2-10 kg, bahkan saat musim badai, nelayan bisa tidak mendapatkan tangkapan sama sekali.

Dahulu, masih banyak nelayan gurita menggunakan potas atau sabun colek campur bensin untuk memancing gurita keluar dari sarangnya. Namun cara itu menyebabkan badan gurita kebiruan dan gurita tidak laku dijual. Karena itu para penampung gurita memberi pelatihan ke nelayan bagaimana menangkap gurita yang ramah lingkungan dan tidak merusak kualitas. Saat ini, penangkapan gurita di Sinaka, terutama Korit Buah relatif sudah ramah lingkungan.


Seorang nelayan Sinaka, Mentawai berenang pada sebuah gosong untuk mencari gurita. Foto oleh Adi Prima.

Nelayan gurita di Desa Sinaka semuanya berjenis kelamin laki-laki. Perempuan biasanya bekerja di ladang atau sawah, dan sesekali menangkap ikan di perairan dekat pemukiman untuk konsumsi keluarga.

Nelayan menangkap gurita dengan alat tangkap tombak besi atau gancho. Teknik penangkapan dengan menyelam di sela-sela karang yang menjadi habitat gurita. Nelayan biasanya menyelam menggunakan perlengkapan sederhana berupa tapak bebek dan kacamata. Selain itu mereka membungkus seluruh tubuhnya dengan pakaian tertutup untuk menghindari sengatan gurita. 

Mereka menyelam di kedalaman sekitar 5-10 meter, besi panjang biasanya digunakan untuk menusuk sarang gurita untuk memancingnya keluar. Gurita lalu ditusuk menggunakan tombak.

Dulu, kebanyakan nelayan menggunakan kompresor untuk menyelam, namun kini tidak banyak lagi yang menggunakannya karena beberapa diantara mereka sudah tahu risikonya. Nelayan mengaku, dalam jangka panjang mereka menderita sesak nafas dan kram otot akibat menggunakan kompresor. Nelayan gurita yang menggunakan kompresor hanya di Dusun Sinaka namun tidak semuanya. Sementara di Korit Buah sudah tidak ada lagi yang menggunakannya.

Rata-rata waktu yang digunakan nelayan menangkap gurita dalam sehari 7-12 jam. Saat ini waktu mencari gurita lebih panjang karena jumlah gurita yang semakin sedikit. 

Nelayan menangkap gurita secara berkelompok menggunakan boat (perahu bermesin tempel) menuju lokasi penangkapan terutama yang aksesnya cukup jauh. Dalam boat juga dibawa sampan-sampan kecil 2-3 unit yang digunakan nelayan menuju titik penyelaman secara berpencar. Boat beserta BBM biasanya disediakan pengumpul. Lokasi mencari gurita terjauh bisa ditempuh 4-5 jam, namun jarak terdekat ada yang hanya 30 menit. 

Biasanya operator boat akan menurunkan nelayan di lokasi tangkap yang sudah ditentukan misal Pulau Tanopo. Setelah itu operator akan menepi dan angkat jangkar di pulau menunggu jadwal pulang sore harinya. Nelayan lalu akan berpencar menyelam. Bagi yang memiliki sampan, akan bisa menyelam dengan area lebih luas. 

Problem yang dihadapi nelayan gurita Sinaka adalah tidak memiliki armada tangkap sendiri sehingga mereka bergantung pada boat yang disediakan oleh pengepul, bahkan tidak semua nelayan memiliki sampan. Mereka harus berada terus menerus dalam air berjam-jam karena tidak bisa naik ke atas sampan, kecuali ada sampan milik nelayan lain di area yang berdekatan.

Dibanding 5-7 tahun lalu, saat ini nelayan mencari gurita sudah lebih jauh dari pemukiman.  Biasanya pagi hari, mulai jam 07.00 WIB dan pulang sekira pukul 17.00 WIB hingga 17.30 WIB. Nelayan gurita memang khusus hanya menangkap gurita yang akan dijual kepada pengepul yang sudah memodali mereka.

RELATED TOPICS

yellow halftone illustration of an elephant

Topic

Environment and Climate Change

Environment and Climate Change
navy halftone illustration of a halved avocado

Topic

Food Security

Food Security
a yellow halftone illustration of two trout

Topic

Ocean

Ocean
Trade

Topic

Trade

Trade

Support our work

Your support ensures great journalism and education on underreported and systemic global issues