Translate page with Google

Story Publication logo September 9, 2023

Struggling “Trash Fishes” in the Musi River Wetlands (bahasa Indonesia)

Country:

Author:
Fish from Musi River, South Sumatra, Indonesia
English

Fish populations continue to decline, causing a host of social problems.

SECTIONS

Rusni fishes in the Pampangan River, Bangsal Village, Pampangan District, Ogan Komering Ilir Regency, South Sumatra. He only gets "trash fish." Image by Nopri Ismi/Mongabay Indonesia.

An English summary of this report is below. The original report, published in bahasa Indonesia in Mongabay, follows.

Many areas in the Musi River wetlands, which were once rich with various freshwater fishes, have only left “trash fishes” now. Trash fishes are fish that have no economic value in the past.

Environmental change and pollution in the Musi River wetlands, which was once known as the center for freshwater fish sources, have caused freshwater fish species in the area to decline.

Tangkeleso or Asian Arowana (Scleropage formasus) and Emperor Snakehead (Channa marulioides) are expected to be extinct in the Musi River wetlands. decline

High-economic-value fishes for consumption purposes also continue to decline: Tapah [Wallago], Giant river prawn [Macrobrachium rosenbergii], Asian glass catfish [Kryptopterus bicirrhis], Asian redtail catfish [Hemibagrus nemurus], Giant freshwater stingray [Himantura polylepis], Belida [Chitala hypselonotus], Bronze featherback [Notopterus notopterus], Barramundi [Lates calcarifer] ,and Red snapper [Lutjanus campechanus].


As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund more than 170 reporting projects every year on critical global and local issues. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!


“Ikan Sampah” yang Bertahan di Lahan Basah Sungai Musi

  • Sejumlah wilayah lahan basah Sungai Musi, Sumatera Selatan, yang sebelumnya kaya jenis ikan air tawar, kini menyisakan “ikan-ikan sampah”. Ikan sampah adalah ikan yang dulunya tidak memiliki nilai ekonomi.
  • Berubah dan tercemarnya sebagian besar lahan basah Sungai Musi, membuat sejumlah wilayah yang dikenal sebagai sentra ikan air tawar, kehilangan atau menurun populasi ikannya.
  • Ikan tangkeleso atau arwana asia [Scleropage formasus] dan ikan toman kuning [Channa marulioides] adalah ikan yang kemungkinan sudah punah di lahan basah Sungai Musi.
  • Ikan konsumsi yang memiliki nilai ekonomi, yang populasinya terus menurun adalah ikan tapah [Wallago], ikan lais [Kryptopterus bicirrhis], ikan baung [Hemibagrus nemurus], ikan pari sungai raksasa [Himantura polylepis], ikan belida sumatera [Chitala hypselionatus], ikan putak [Notopterus notopterus], ikan kakap putih [Lates calcarifer], ikan kakap merah [Lutjanus campechanus], dan udang satang [Macrobrachium rosenbergii].

Suhu udara 34 derajat Celcius. Awal Agustus 2023. Tidak ada awan hitam menutupi matahari sore itu. Di atas sebuah sampan, Rusni [60] mengayunkan tangkul ke Sungai Pampangan, di belakang rumah panggung kayu miliknya.

Setelah 10 menit terendam di air sungai, tangkul diangkatnya. Terjaring belasan ikan seluang [Rasbora spp], ikan sepat [Trichogaster], ikan betino [Labiobarbus leptocheilus], dan anakan udang satang [Macrobrachium rosenbergii].

“Di sungai ini, banyaklah ikan-ikan sampah,” kata Rusni, yang lahir dan menetap di Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan.

Enam kali Rusni merendamkan tangkul ke air sungai. Dia berhenti saat matahari perlahan tenggelam. Sekitar setengah kilogram ikan terkumpul di dalam baskom, wadah penampung ikan.


Rusni menangkul di Sungai Pampangan, Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Dia hanya mendapatkan ikan-ikan sampah. Foto oleh Nopri Ismi/Mongabay Indonesia.

Penyebutan “ikan sampah” teruntuk ikan-ikan yang dulunya tidak memiliki nilai ekonomi atau tidak digemari masyarakat di Sumatera Selatan. Misalnya ikan-ikan berukuran kecil, dan ikan-ikan yang memiliki banyak tulang berbentuk huruf “Y” di dagingnya. Ikan-ikan sampah jarang ditangkap, sehingga populasinya melimpah.

Contohnya ikan seluang, ikan sepat, ikan betino, ikan lumajang [Cyclocheilichthys enoplos], ikan betok [Anabas testudineus], dan ikan selincah [Belontia hasselti].

Ikan belida sumatera [Chitala hypselionatus] dan ikan putak [Notopterus notopterus] juga memiliki tulang “Y” di dagingnya. Tapi tidak dikategorikan ikan sampah, sebab masyarakat di Sumatera Selatan menyukai penganan pempek, kerupuk, dan kemplang, yang menggunakan daging dua jenis ikan itu.

Pempek, kerupuk, dan kemplang adalah penganan khas masyarakat Sumatera Selatan, yang terbuat dari daging ikan dicampur tepung sagu atau tepung kanji. Penganan ini diperkirakan sudah ada dari masa Kedatuan Sriwijaya [7-12 Masehi] yang berpusat di Palembang.

“Dulu, warga di sini, membuat kerupuk dan kemplang menggunakan ikan belida dan ikan putak. Untuk dijual atau dimakan. Tapi karena ikannya sudah hilang, kami menggunakan ikan-ikan sampah,” ujar Rusni, perajin kemplang dan kerupuk di Desa Bangsal yang masih bertahan.

Desa Bangsal luasnya 320 hektare. Sekitar 206 hektare berupa rawa gambut, yang disebut Lubuk Sekayan. Rawa gambut ini sebagian dijadikan persawahan dan pengembalaan kerbau rawa [Bubalus bubalis carabanesis].


Sejumlah ikan sampah dan anakan udang satang diperoleh Rusni dari menangkul di Sungai Pampangan di Desa Bangsal. Foto oleh Nopri Ismi/Mongabay Indonesia.

Ikan-ikan yang disukai masyarakat di Sumatera Selatan, sehingga bernilai ekonomi, seperti ikan belida sumatera, ikan putak, ikan lais [Kryptopterus bicirrhis], ikan baung [Hemibagrus nemurus], ikan tapah [Wallago], ikan gabus [Channa striata], ikan toman [Channa micropeltes], ikan tembakang [Helostoma temminckii], ikan sepatung [Pristolepisgrootii], dan udang satang. Sementara ikan air payau, seperti kakap putih [Lates calcarifer] dan kakap merah [Lutjanus campechanus].

Selain dijadikan penganan pempek, kerupuk, kemplang, juga dibuat pindang [sup ikan], pepes ikan, ikan asap, ikan asin, dan pekasem [fermentasi ikan].

“Yang tersisa ikan-ikan sampah. Tapi ikan-ikan sampah sekarang ini laku dijual, meskipun harganya murah. Biasanya dibeli pembuat pempek dan kemplang. Tapi ada yang membuatnya jadi ikan asin,” kata Parman [62], warga Desa Terusan Menang, Kecamatan Sirah Pulau Padang, Kabupaten OKI.

“Warga di sini sudah jarang mencari ikan. Mereka banyak membesarkan ikan nila [Oreochromis niloticus], lele dumbo [Clarias gariepinus], ikan patin [Pangasius pangasius], menggunakan keramba yang terbuat dari jaring dan bambu. Bibitnya dibeli, pakannya dibeli,” jelas Parman, yang mencari ikan di Lebak Lebung Belanti dan Sungai Komering, sejak usia belasan tahun.

Pertengahan Agustus 2023. Matahari di atas kepala. Teriknya tidak menghentikan belasan perempuan dan laki-laki melebung di Lebak Lebung Teluk Semambu, Desa Burai, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir [OI].

Melebung adalah tradisi mencari ikan di lebak lebung yang mengering, menggunakan alat tangkap seperti jala, jaring, tangkul, atau merogoh [menggunakan kedua tangan].

Kemarau yang disertai El-Nino pada 2023, membuat lahan basah di Sumatera Selatan cepat mengering dan sebagian terbakar. Termasuk di Desa Burai yang luasnya 3.500 hektare dan memiliki lebak lebung seluas 1.150 hektare.

Lebak lebung yang terhubung dengan Sungai Kelekar di Desa Burai, diberi sejumlah nama. Misalnya Lebak Lebung Burai, Lebak Lebung Temedak, Lebak Lebung Temedak Besak, Lebak Lebung Bulo, Lebak Lebung Ketapi, dan Lebak Lebung Teluk Semambu.

“Banyaklah ikan sampah. Sedikit ikan-ikan besar,” kata Fatimah, warga Desa Senuro Timur, Kecamatan Tanjung Batu, yang mencari ikan di Lebak Lebung Teluk Semambu bersama suaminya.

“Dulu, setiap melebung, minimal dapat sekarung ikan. Dapat ikan gabus, ikan toman, atau ikan tembakang. Sekarang, hanya ikan-ikan sampah. Setiap tahun, ikannya terus berkurang,” jelas Fatimah.

Setelah makan siang, Utami Dewi [47] membersihkan dua kilogram ikan sepat, yang dibeli dari seorang tetangganya. Ikan-ikan itu diolah menjadi pekasem dan ikan asin.

“Di sini, yang masih banyak itu ikan sampah. Pemulutan tidak seperti dulu, yang masih banyak [jenis] ikannya,” kata Utami, yang lahir dan menetap di Desa Sungai Rasau, Kecamatan Pemulutan, Kabupaten OI.

Selain membuat pekasem dan ikan asin, Utami juga berjualan ikan di pasar tradisional Jakabaring, Palembang. Sudah delapan tahun dia berdagang.

Awalnya, Utami hanya menjual ikan hasil tangkapan tetangganya. Dua tahun terakhir, dia juga menjual ikan dari luar Pemulutan.

“Banyak [jenis] ikan yang hilang di rawang ini. Tersisa ikan sampah. Tapi cukuplah untuk lauk makan,” kata Taya [52], warga Desa Perigi, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten OKI, sambil memperlihatkan ikan selincah, ikan betok, dan ikan sepat, hasil dari mancing.

“Dulu rawang ini dipenuhi ikan toman, ikan gabus, ikan kelik [Encheloclarias tapeinopterus], ikan serko [Channa limbata], ikan bujuk [Channa lucius],” jelasnya.

Asnaini [38], warga Desa Lebung Itam, Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten OKI mengatakan, “Kalau sekarang ini lebih banyak ikan sampah. Sulit mendapatkan ikan lais, ikan toman, atau ikan baung. Hanya ikan gabus sesekali didapat.”

“Ikan sampah, ya, ikan sepat, ikan selincah atau ikan betok,” kata Asnaini, yang hampir setiap hari mencari ikan.

“Banyaklah ikan sampah di Sungai Musi. Kalau mau makan ikan lais atau ikan baung harus beli ke pasar. Kalau dulu, cukup mancing di Sungai Musi,” kata Erna [47], warga Kelurahan Babat, Kecamatan Babat Toman, Kabupaten Musi Banyuasin [Muba].

Akhir Agustus 2023. Sebuah kapal tongkang yang panjangnya sekitar 70 meter, membawa ribuan ton batubara, melaju di Sungai Musi. Gelombangnya membuat oleng sampan milik Ubaidillah [72]. Ubaidillah terlihat tidak peduli, dia terus menarik jaringnya ke atas sampan.

“Saya sudah setengah abad mencari ikan di Sungai Musi. Ikan-ikannya terus berkurang. Dulu, masih banyak udang satang, ikan baung, ikan tapah. Sekarang ini hanya ikan seluang. Ikan sampah,” kata Ubaidillah, yang lahir dan menetap di Kelurahan 1 Ulu, Palembang.

Dari pagi hingga sore, Ubaidillah menjaring ikan di pinggiran Sungai Musi. Lokasinya, sekitar Kelurahan Gandus, Kelurahan 36 Ilir, dan Kelurahan 30 Ilir, Palembang.

“Kalau sekarang, dapat tiga kilogram ikan seluang, sudah beruntung. Dulu, sehari bisa dapat 10 kilogram.”

Sekitar 10 tahun terakhir, Ikan seluang mulai digemari wong Palembang, sehingga bernilai ekonomi. Ikan seluang goreng selalu disajikan di rumah makan pindang ikan.

Sungai Musi yang panjangnya sekitar 750 kilometer adalah muara Sungai Komering, Sungai Ogan, Sungai Lematang, Sungai Batang Hari Leko, Sungai Lakitan, Sungai Kelingi, Sungai Rawas, dan Sungai Rupit.

Sembilan sungai besar tersebut membentuk lahan basah sekitar tiga juta hektare, berupa perairan sungai [775.000 hektare], danau [275.000 hektare], rawa [375.000 hektare], mangrove [142.681,40 hektare], serta rawa gambut [1.475.165 hektare].

Dr. Muslim, peneliti ikan dari Universitas Sriwijaya, menjelaskan masyarakat di Sumatera Selatan mengenal lebak lebung. Lebak lebung adalah habitat beragam jenis ikan, yang menjadi sumber pangan dan ekonomi masyarakat. Di masa lalu, hampir semua permukiman di lahan basah, berada di sekitar lebak lebung.

Lanskap lebak lebung terdiri dari talang, rawang, lebak kumpai, dan batanghari. Talang adalah lahan kering. Di talang, masyarakat membangun rumah dan berkebun. Rawang adalah lahan rendah. Terendam air saat musim penghujan, kering saat musim kemarau.

Lahan rawang berupa gambut atau non-gambut, yang ditumbuhi beragam jenis pohon, yang dapat hidup saat air tergenang. Misalnya pohon jelutung [Dyera costulata] dan pulai rawa [Alstonia pneumatophora].

Lebak kumpai juga lahan rendah yang tergenang air. Ditumbuhi kumpai [Hymenachine amplexicaulis] dan rumput dari famili graminae. Lebung atau lubuk [bagian terdalam lebak] umumnya berada di lebak kumpai. Terakhir, batanghari atau sungai.

Yang terancam, yang punah

Di bawah tahun 2000, beberapa wilayah di Kabupaten OKI, Kabupaten OI, Kabupaten Banyuasin, dan Kabupaten Muba, dikenal sebagai sentra ikan air tawar dari alam. Ikan-ikan yang dihasilkan; ikan belida sumatera, ikan putak, ikan lais, ikan baung, ikan toman, ikan tapah, ikan gabus, ikan kakap, dan udang satang.

“Berubah dan tercemarnya sebagian besar lahan basah Sungai Musi, dampak aktivitas perkebunan sawit, HTI [Hutan Tanaman Industri], infrastruktur dan industri, membuat habitat ikan air tawar rusak atau hilang, yang berujung hilang atau menurunnya populasi sejumlah jenis ikan,” kata Dr. Muhammad Iqbal, peneliti biologi Universitas IGM [Indo Global Mandiri] Palembang.

“Banyak daerah yang sebelumnya sebagai sentra ikan air tawar, kini mengalami krisis ikan dari alam,” kata Iqbal, yang menerbitkan buku “Ikan-ikan di Sungai Musi dan Pesisir Timur Sumatera Selatan” bersama Indra Yustian, Arum Setiawan dan Doni Setiawan, pada 2018.

Pencemaran di Sungai Musi meningkat selama 20 tahun terakhir. Pencemaran diduga dari limbah pabrik PT. Pupuk Sriwijaya, perusahaan migas Pertamina Plaju, puluhan perusahaan getah karet, puluhan pabrik minyak sawit, aktivitas penambangan batubara, penambangan emas, perkebunan sawit, tebu, karet, hingga limbah rumah tangga.

Tahun 2022, Tim Ekspedisi Sungai Nusantara [ESN] bersama Telapak Sumatera Selatan dan Spora meneliti pencemaran air Sungai Musi. Mereka menyatakan di dalam 100 liter air Sungai Musi ditemukan 355 partikel mikroplastik. Mikroplastik dominan jenis fiber atau benang-benang [80 persen] dan mikroplastik lainnya; fragmen, filamen, dan granula.

Selain itu, air Sungai Musi memiliki kadar polutan tinggi. Mangan sebesar 0,2 ppm, dan tembaga sebesar 0,06 ppm [standard maksimalnya 0,03 ppm per liter]. Kadar klorin sebesar 0,16 miligram dan kadar fosfat mencapai 0,59 miligram [standard maksimal 0,03 miligram per liter].

Tingginya kadar klorin dan fosfat diduga memengaruhi populasi ikan, dikarenakan mengganggu sistem pernapasan ikan dan pembentukan telur.

HaKI [Hutan Kita Institut], organisasi peduli lingkungan hidup, mencatat rawa gambut di Sumatera Selatan yang berubah fungsi seluas 1.123.119 hektare.

Rawa gambut dikuasai 17 perusahaan HTI sekitar 559.220 hektare dan 70 perusahaan sawit seluas 231.741 hektare. Sementara 332.158 hektare dijadikan permukiman [transmigran], perkebunan rakyat, pabrik, dan jalan.

Kabupaten OKI luasnya mencapai 1,9 juta hektare, dialiri Sungai Komering, Sungai Sugihan, Sungai Lebong Itam, Sungai Lumpur, Sungai Batang, dan Sungai Jeruju.

Luas lahan basahnya sekitar 1,42 juta hektare, terluas di Sumatera Selatan. Rawa gambutnya mencapai 769 ribu hektare, yang sekitar 647.766 hektare berubah fungsi. Dijadikan perkebunan sawit sekitar 74.057 hektare, HTI seluas 397.574 hektare, serta sekitar 176.135 hektare menjadi permukiman [transmigran], perkebunan rakyat, pabrik, dan lainnya.

Luas Kabupaten Banyuasin mencapai 1,18 juta hektare. Sekitar 946.639,2 hektare adalah lahan basah. Rawa gambutnya seluas 317.530 hektare. Mangrovenya seluas 77.500 hektare, terluas di Indonesia Bagian Barat, yang masuk Taman Nasional Sembilang.

Di Kabupaten Banyuasin mengalir Sungai Musi, Sungai Banyuasin, dan Sungai Lalan. Sekitar 41.434 hektare rawa gambut dikuasai perkebunan sawit, HTI  seluas 38.455 hektare, dan 67.991 hektare dijadikan permukiman [transmigran], perkebunan rakyat, pelabuhan, dan lainnya.

Kabupaten Muba luasnya 1,42 juta hektare. Sekitar 600 hektare adalah lahan basah. Luas rawa gambutnya mencapai 277.275 hektare. Sekitar 109.634 hektare menjadi HTI, perkebunan sawit seluas 69.437 hektare, serta 60.384 hektare dijadikan permukiman [transmigran], perkebunan rakyat, pabrik, dan lainnya.

Di kabupaten yang dialiri Sungai Musi, Sungai Batanghari Leko, Sungai Lalan, juga marak aktivitas illegal logging di hutan rawa gambut.

Luas Kabupaten OI mencapai 266.600 hektare. Sekitar 93.310 hektare adalah rawa. Sebagian rawa berubah fungsi menjadi perkebunan dan infrakstruktur. Luasan perkebunan sawit mencapai 47.539 hektare.

Infrastruktur yang mengubah rawa, yakni jalan desa, pergudangan, permukiman, pabrik, dan jalan tol. Sungai yang mengalir di kabupaten ini, antara lain Sungai Ogan, Sungai Kelekar, Sungai Rambang, Sungai Kuang, Sungai Randu, Sungai Kandis, dan Sungai Kumbang.

“Setiap tahun, lebak lebung di sini mengalami kekeringan atau kebanjiran setelah adanya kebun sawit, jalan tol, gudang, dan pabrik. Mungkin perubahan tersebut menyebabkan jumlah ikan terus berkurang atau habis,” kata Amin [26], warga Desa Sungai Rasau, Kecamatan Pemulutan, Kabupaten OI.

Proyek reklamasi rawa Jakabaring, Palembang [1997], diduga turut memengaruhi rawa di Pemulutan. Reklamasi yang diperuntukkan bagi perumahan, perkantoran, pasar, dan sarana olahraga, memutus jalur air rawa Jakabaring dengan rawa di Pemulutan.

“Sejak rawa gambut di hulu desa dijadikan perkebunan sawit oleh PT. PSM [Persada Sawit Mas], air Lubuk Sekayan menjadi tidak stabil. Kekeringan atau banjir yang panjang. Mungkin itu penyebab ikan-ikan berkurang. Sulit bertelur dan membesar,” kata Husin [49], warga Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Kabupaten OKI.

Kecamatan Sirah Pulau Padang luasnya 14.908 hektare, hampir setengahnya adalah wilayah Lebak Lebung Belanti. Lebak Lebung Belanti berbatasan dengan Desa Lebak Ulak, Desa Terusan Menang, Desa Terate, Desa Mangun Jaya, dan Desa Lebak Belanti. Air Lebak Lebung Belanti, selain dari hujan, juga luapan Sungai Komering.

“Dulu, kami hidup makmur dari hasil ikan. Setelah Sepucuk dijadikan perkebunan sawit, ikan-ikan di Lebak Lebung Belanti mulai habis. Airnya tidak lagi normal. Kekeringan atau banjir hingga enam bulan,” kata Hidayat [49], warga Desa Terusan Menang, Kecamatan Sirah Pulau Padang, Kabupaten OKI.

Lebak Lebung Belanti terhubung dengan Sepucuk, rawa gambut di Kecamatan Pedamaran Timur. Pada 2007, dijadikan perkebunan sawit oleh sejumlah perusahaan. Salah satunya, PT. Waringin Agro Jaya [WAJ].

“Ikan di sini tinggal cerita bae. Kalau dulu, kami mudah mencari ikan di rawang untuk makan atau dijual. Sekarang, mencari ikan sampah saja sulit. Harus mancing berjam di rawang,” kata Eddy Saputra, warga Desa Perigi, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten OKI.

Desa Perigi luasnya 2.000 hektare. Luas rawangnya [rawa gambut] sekitar 1.050 hektare, yang disebut Rawang Teluk, Rawang Gedeh, Rawang Bangsal, Rawang Pulau Kubu, Rawang Pang Jauh, dan Rawang Pulau Sepanggil. Rawang ini terhubung dengan beberapa anak Sungai Air Padang.

Rawang-rawang di Desa Perigi menjadi rusak setelah hutannya dihabisi perusahaan HPH [Hak Pengusahaan Hutan] PT. Ramin Jaya.

“PT Ramin Jaya beroperasi dari tahun 1970-an hingga 1995. Tidak satu pun pohon besar tersisa. Di musim kemarau, rawang menjadi kering dan mudah terbakar. Ikan-ikan di lebung terus berkurang,” jelas Eddy.

“Dulu, Babat Toman ini sentra ikan. Sekarang ikan-ikan tidak banyak lagi di Sungai Musi. Memang masih banyak jenis ikan ditemukan, tapi jumlahnya terus berkurang,” kata Warman Gupta [51], warga Kelurahan Babat, Kecamatan Babat Toman, Kabupaten Muba.

Kecamatan Babat Toman luasnya 129.100 hektare. Di tengah wilayahnya, mengalir Sungai Musi. Terdapat perkebunan sawit seluas 2.224 hektare. PT. Pinago Utama Tbk, salah satu perusahaan sawit di Kecamatan Babat Toman.

Desa Lebung Itam luasnya 32.000 hektare. Sekitar 26.773 hektare kawasan rawang, yang disebut Lebung Itam. Rawang Lebung Itam merupakan hulu dari Sungai Lebung Itam yang bermuara ke Sungai Lumpur.

Rawang Lebong Itam adalah habitat gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus]. Tahun 1982, Lebong Itam menjadi lokasi pemindahan ratusan gajah dari wilayah transmigran Air Sugihan, Kabupaten OKI. Proyeknya disebut Operasi Ganesha.

“Warga yang mencari ikan di Rawang Lebung Hitam, dulunya dari Desa Lebung Itam, Desa Jerambah Rengas, Desa Tulung Seluang, Desa Penanggoan Duren, dan Desa Riding. Sepanjang tahun, kami menjual ikan gabus, ikan toman, ikan kelik, ikan serko, ikan bujuk, ikan tembakang, ikan sepatung,” kata Amiril [41], warga Desa Lebung Itam, Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten OKI.

“Setelah perusahaan HTI, PT. BMH [Bumi Mekar Hijau], menguasai sebagian besar rawang Lebung Itam, hanya warga Desa Lebung Itam yang mencari ikan di rawang yang tersisa,” jelas Amiril.

Sungai Banyuasin di Kabupaten Banyuasin bagian dari estuaria Sungai Musi. Berdasarkan artikel penelitian Moh. Rasyid Ridho dan Enggar Patriono pada 2017, berjudul “Keanekaragaman Jenis Ikan di Estuaria Sungai Musi, Pesisir Kabupaten Banyuasin”, ditemukan 438 jenis ikan di estuaria Sungai Musi.

“Sudah sulit mendapatkan udang satang dan ikan kakap. Mungkin karena banyak lahan dibuka untuk perkebunan sawit,” kata Saptin [52], nelayan bagan di Sungai Banyuasin, Kabupaten Banyuasin.

Saat ini, para nelayan bagan di Sungai Banyuasin, lebih sering mendapatkan ikan belanak [Liza melinoptera], ikan selontok kuning [Glossogobius biocellatus], ikan gulamo [Panna microdon], udang burung [Penaeus merguiensis], dan udang rebon [Acetes].

“Semua ikan dan udang itu tidak banyak pembelinya. Berharga kalau dibuat ikan asin atau terasi,” kata Saptin.

Ikan air tawar yang hidup di lahan basah Sungai Musi sebanyak 620 jenis atau 13 persen dari 4.748 jenis ikan di Indonesia. Sejumlah jenis ikan diduga hilang atau punah.

“Ikan yang hilang atau punah di lahan basah Sungai Musi, ikan tangkeleso atau arwana asia [Scleropage formasus] dan ikan toman kuning [Channa marulioides],” kata Dr. Muhammad Iqbal.

“Ada kemungkinan beberapa jenis ikan lainnya juga hilang, termasuk ikan terkecil di dunia [Paedocypris progenetica]. Sejak tahun 2016, saya belum menemukan ikan tersebut. Selain itu, saya dan kawan-kawan baru menemukan 500-an jenis ikan air tawar di Sumatera Selatan,” jelasnya.

Ikan yang populasinya terus menurun, antara lain ikan tapah, ikan lais, ikan baung, ikan belida sumatera, ikan putak, ikan kakap, dan udang satang.

Berdasarkan pengakuan sejumlah warga di Kabupaten OKI, Kabupaten OI, Kabupaten Banyuasin, dan Kabupaten Muba, ikan tangkeleso dan ikan toman kuning tidak pernah ditemukan lagi. Sementara ikan tapah dan ikan belida sumatera sudah sulit ditemukan di Kabupaten OKI.

Dijelaskan Iqbal, berdasarkan peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi nomor P.106/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2018, ikan air tawar dilindungi yang bertahan di Sumatera Selatan; ikan belida sumatera, ikan putak/belida jawa, ikan pari sungai raksasa [Himantura polylepis], ikan pari sungai pinggir putih [Himantura signifier], dan ikan pari sungai tutul [Himantura oxyrhyncha].

“Lahan basah Sungai Musi bukan lagi surganya ikan air tawar,” papar Iqbal.

RELATED TOPICS

yellow halftone illustration of an elephant

Topic

Environment and Climate Change

Environment and Climate Change
navy halftone illustration of a halved avocado

Topic

Food Security

Food Security
teal halftone illustration of a construction worker holding a helmet under their arm

Topic

Labor Rights

Labor Rights
navy halftone illustration of a boy carrying two heavy buckets

Topic

Water and Sanitation

Water and Sanitation

Support our work

Your support ensures great journalism and education on underreported and systemic global issues