Translate page with Google

Story Publication logo September 20, 2023

Crab Hunting and Mangrove Forest Protection (bahasa Indonesia)

Country:

Author:
man holds a squid
English

Residents in Sinaka village work to gain recognition for traditional fishing grounds.

author #1 image author #2 image
Multiple Authors
SECTIONS

Nursan, one of the fishermen from Sinaka Village, shows his mangrove crab catch. Image by Gerson Merar Saleleubaja/MentawaiKita.com. Indonesia.

An English summary of this report is below. The original report, published in bahasa Indonesia in Mentawai Kita, follows.


August 2023 was the worst season for fishermen in the Mentawai Islands, West Sumatra Province, Indonesia.

The impact of this wave also hit the southern area of the Mentawai Islands, specifically the Sinaka Village area, South Pagai District. Fishermen in this area couldn't carry out fishing activities like the previous month.

However, this did not completely stop the economic activities of fishermen in the area.

During the day they spend their time farming or resting at home. At night fishermen change their activities from fishing to hunting mangrove crabs (Scylla serrata), which are near their villages.

The vast mangrove forest provides fishermen with another alternative source of income besides catching fish, lobsters and sea cucumbers at sea.

To protect mangrove forests, the Village Government, together with the Sinaka Village Consultative Body, have established a prohibition on destroying mangrove forests.


As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund more than 170 reporting projects every year on critical global and local issues. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!


Berburu Kepiting dan Perlindungan Hutan Mangrove

SINAKA—Bulan Agustus 2023 merupakan musim terburuk bagi nelayan di Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat, Indonesia.

Berdasarkan rilis yang disampaikan sepanjang Agustus dan September oleh Badan Meteorologi dan Geofisika, ketinggian gelombang di perairan Kepulauan Mentawai dan sekitarnya mencapai 2-3 meter. Gelombang besar juga disertai angin kencang sehingga berbahaya untuk pelayaran dan kegiatan lain di laut.

Dampak gelombang ini juga melanda daerah selatan Kepulauan Mentawai tepatnya wilayah Desa Sinaka, Kecamatan Pagai Selatan. Nelayan di daerah ini tak bisa melakukan aktivitas melaut seperti bulan sebelumnya. 

Namun hal ini tak menghentikan sepenuhnya aktivitas ekonomi nelayan di daerah itu, seperti yang dilakukan Hendra (24), nelayan setempat. Saat musim badai terjadi di kampungnya ia tak bisa ke laut. Pada siang hari dia memanfaatkan waktu berladang atau beristirahat di rumahnya.

Saat malam tiba Hendra bersama dengan rekannya yang lain mengganti aktfitas dari melaut menjadi berburu kepiting bakau (Scylla serrata) yang berada dekat kampungnya. Luasnya hutan mangrove di kampungnya memberi sumber pendapatan alternatif lain bagi nelayan selain menangkap ikan, lobster dan teripang di laut.

Hendra biasanya memulai aktivitas penangkapan kepiting pada malam sekitar 20.00 WIB, namun soal aturan waktu ini tidak baku. Waktu yang tepat menurut Hendra adalah ketika air laut mulai pasang.

“Setelah memperhatikan air laut mulai pasang kami berangkat mencari kepiting,” kata Hendra kepada MentawaiKita.com, Jumat (18/8/2023).

Pemilihan waktu saat mulai pasang bukanlah tanpa alasan, menurut Hendra saat itu kepiting bakau akan naik dari laut masuk ke hutan mangrove untuk mencari makanan.

"Ketika kepiting masuk mangrove, kita akan mudah menangkapnya," katanya.

Selain air pasang, menangkap kepiting akan lebih mudah dilakukan saat malam tanpa bulan. Kepiting yang tidak punya penerangan saat di senter akan kebingungan menyelamatkan diri sehingga  mudah ditangkap.

Alat tangkap kepiting juga sangat sederhana yakni dengan memakai jaring yang ditebar sekitar pinggir mangrove. Saat kepiting dari laut disitulah mereka akan terperangkap jaring. Jaring yang digunakan tidak harus yang baru tetapi dapat memakai jaring bekas.


Kepiting hasil tangkapan warga Desa Sinaka. Foto oleh Gerson Merar Saleleubaja/MentawaiKita.com. Indonesia.

"Tetapi kami lebih sering menangkapnya memakai tangan," kata Derman Berisigep (40), nelayan Sinaka yang juga pencari kepiting.

Menurut Derman, dia tidak merasa takut dicapit kepiting  saat menggunakan tangan. Saat menangkap kepiting dengan tangan, mereka menekan punggung kepiting atau bagian cangkang kepiting ke tanah agar tangan tidak tergigit. Kemudian setelah tertangkap mereka mengikat kepiting tersebut lalu dimasukkan ke dalam karung.

Jarak hutan mangrove dengan kampung Derman tidak jauh, hanya menghabiskan waktu 15 menit dengan menggunakan sampah kayu dan didayung.

Pada tahun lalu jumlah kepiting yang dapat ditangkap mencapai lima ekor namun pada tahun ini hasil tangkapan menurun sebab jumlah penangkap kepiting makin banyak. Pencari kepiting paling banyak berasal dari Dusun Sinaka, Korit Buah dan Matotonan, semua dusun itu masih dalam wilayah administrasi Desa Sinaka.

Menurut Derman hasil tangkapan tidak menentu, terkadang dirinya mendapat 2 kilogram kepiting, ada kalanya dia pulang dengan tangan kosong meski sudah berburu kepiting dari pukul 20.00 WIB sampai dengan 02.00 WIB.

"Jika dapat pendapatannya lumayan," kata Derman.

Harga jual kepiting di kampungnya dibagi dalam 4 kategori yakni, ukuran L dengan berat 1 kg lebih Rp250 ribu-270 ribu per kg, ukuran M dengan berat 7-9 ons dibeli dengan harga Rp100 ribu-150 ribu per kg.

Sedangkan untuk kepiting ukuran M dengan berat antara 5-6 ons harga 1 kg berkisar Rp60 ribu-100 ribu per kg. Ukuran S atau dengan berat antara 2-4 ons dibeli dengan harga Rp40 ribu-80 ribu per kg.

Melindungi Hutan Mangrove

Hutan mangrove yang tumbuh subur di Desa Sinaka sepanjang garis pantai memberi keuntungan bagi nelayan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Mentawai panjang garis pantai Desa Sinaka mencapai 200 Kilometer. Menurut mereka tanpa hutan mangrove mereka tidak akan mendapat kepiting.

Hutan mangrove terluas di Desa Sinaka terdapat di wilayah Dusun Korit Buah, Dusun Sinaka dan Bagat Sagai. Hutan manggrove ini sebelumnya pernah hancur diterjang ombak ketika terjadi gempa Mentawai pada tahun 2007. 


Hutan mangrove yang tumbuh di Dusun Korit Buah, Desa Sinaka. Foto oleh Gerson Merar Saleleubaja/MentawaiKita.com. Indonesia.

Menurut Nursan, dalam jarak 100 meter dari tepi hutan mangrove ke bagian dalam banyak batang bakau yang tumbang dan hanyut tersapu gelombang.

“Mangrove yang tumbuh saat ini sisa terjangan gelombang, namun makin padat kembali,” kata Nursan (52), warga Dusun Sinaka yang menjadi pengumpul lokal kepiting.

Menurut Nursan keberadaan hutan mangrove memberikan sumber alternatif pendapatan bagi nelayan sebab banyak potensi yang dapat mereka peroleh di sana seperti kepiting termasuk berbagai jenis kerang yang hidup di tanah berlumpur hutan bakau.

Apalagi pada bulan Agustus hingga September saat ini perairan di kampung mereka terjadi badai yang disertai gelombang tinggi yang membuat mereka tidak dapat melaut.

Untuk melindungi potensi sumber daya perikanan di daerah tersebut, Pemerintah Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa Sinaka telah menetapkan larangan termasuk soal hutan mangrove. Pembuatan peraturan itu tidak hanya melibatkan unsur pemerintah di Desa Sinaka tetapi juga masyarakat dan berbagai kelompok nelayan yang ada di desa itu.

Larangan penebangan hutan mangrove di Desa Sinaka telah ditetapkan pada Pasal 18 huruf (c) Peraturan Desa Nomor 2 Tahun 2023 tentang Tata Kelola Wilayah Perikanan Tradisional Berkelanjutan. Setiap orang yang melakukan penebangan hutan bakau akan dikenakan sanksi dengan membersihkan fasilitas umum selama 1 hari sebagaimana diatur pada Pasal 38 ayat (2). 

Setelah diberi sanksi tersebut tetapi masih mengulangi perbuatannya maka orang bersangkutan akan diberi sanksi adat sesuai dengan berlaku di Desa Sinaka, hal ini diatur pada Pasal 38 ayat (3).


Kepala Desa Sinaka, Tarsan Samaloisa. Foto oleh Gerson Merar Saleleubaja/MentawaiKita.com. Indonesia.

Kepala Desa Sinaka, Tarsan Samaloisa mengatakan pengaturan itu (mangrove) dilakukan untuk menjaga keberlanjutan wilayah perikanan tradisional. 

“Pelarangan itu perlu diatur, isi aturan tersebut juga dibahas dan disepakati oleh masyarakat, sehingga kita berharap tidak timbul retensi atau perlawanan dari masyarakat,” kata Tarsan Samaloisa.

RELATED TOPICS

yellow halftone illustration of an elephant

Topic

Environment and Climate Change

Environment and Climate Change
navy halftone illustration of a halved avocado

Topic

Food Security

Food Security
teal halftone illustration of a construction worker holding a helmet under their arm

Topic

Labor Rights

Labor Rights

Support our work

Your support ensures great journalism and education on underreported and systemic global issues